SASTRA BALAI PUSTAKA
1.
LATAR
BELAKANG
Sastra Balai Pustaka tidak muncul
dari masyarakat Indonesia secara bebas dan spontan. Sastra ini dimunculkan dan
diatur oleh pemerintah jajahan Belanda di Indonesia. Sastra ini penuh dengan
syarat-syarat dan ditulis dengan maksud-maksud tertentu, yang akhirnya bermuara
bagi kepentingan politik jajahan. Dari sudut ini dapat dikatakan bahwa sastra
Balai Pustaka bukanlah hasil ekspresi bangsa secara murni. Dalam banyak hal
sastra Balai Pustaka adalah sastra bertendens, yakni sastra yang ditulis untuk
maksud-maksud praktis tertentu, dalam hal ini adalah mendidik bangsa Indonesia
agar menjadi pegawai negeri yang patuh dan tidak ambisius sehingga ingin
menyamai orang-orang Belanda.
Berdasarkan
keputusan Raja Belanda 30 September 1848, kepada Gubernur Jenderal Belanda di
Indonesia diberi wewenang untuk menggunakan dana sebanyak 25.000,- tiap tahun
bagi penyelewengan pendidikan. Pendidikan yang ditunjukan untuk kaum bangsawan
rendah pada pertengahan abad 19 itu bukanlah bertujuan memberikan kemajuan dan kepandaian bagi bangsa
Indonesia, tetapi semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pegawai rendahan sebagai
aparat pemerintahan jajahan. Di samping itu pemerintah Belanda juga ingin
mengendalikan pendidikan yang sebelum tahun itu telah banyak dilakukan oleh
pihak swasta. “pimpinan dalam hal pengajaran itu jangan terlepas dari tangan
Pemerintah”, bunyi surat menteri kepada Raja Belanda pada tahhun 1845. Didirikannya sekolah-sekolah belanda
bagi kaum priyayi ini memang berhasil memenuhi kebutuhan pemerintah, tetapi
juga mendatangkan bahaya bagi pemerintah. Kepandaian membaca yang diperoleh
dari sekolah-sekolah dan dasar pengetahuan umum yang mereka miliki,
mengakibatkan lulusan-lulusan sekolah ini haus bacaan dan pengetahuan.
Belajar
dari pengalaman penjajahan Inggris di India, yang memberikan pendidikan tetapi
tidak mengontrol bacaannya, maka pemerintah Belanda mulai berpikir untuk
menyediakan bacaan bagi kaum terdidik Indonesia (anak-anak sekolah dan
pegawai-pegawai negeri).
Inilah
sebabnya pada tanggal 14 September 1908 Pemerintah membentuk Comissie voor e Inlandsche School-en
Volkslecvuur ( komisi Bacaan Rakyat dan Pendidikan Pribumi) yang diketuai
oleh Dr.G.A.J. Hazeu dengan 6 orang anggotanya. Tugas komosi ini adalah
memberikan pertimbangan kepada Direktur Pendidikan dalam hal memilih
karangan-karangan yang baik untuk dipakai di sekolah-sekolah dan dijadiakan
bacaan rakyat.
2.
KOMISI
BACAAN RAKYAT
Meskipun komisi
ini dibentuk tahun 1908, tetapi belum menghasilkan apa-apa sampai tahun 1910.
Selama dua tahun itu komisi hanya memiliki satu sekretaris saja. Padahal
“bahaya” yang dikuatirkan pemerintah makin besar. Seperti kita ketahui sejak
1870-an telah berkembang biak sastra Melayu Rendah Tioghoa dan sastra Melayu
Rendah Belanda serta Indonesia. Dan beberapa roman pendek yang mereka hasilakan
memang dapat membangkitkan perasaaan anti Belanda. Mengingat kepentingan
penjajahan, maka pada tahun 1910 diangkatlah ketua komisi yang baru, ialah
Dr.D.A.Rinkes. dan mulailah segera komisi menjalankan tugasnya dengan
sungguh-sungguh pada tahun itu juga iterbitkan beberapa buku bacaan untuk
rakyat. Inilah sebabnya Dr.D.A.Rinkes Dianggap sebagai Bapak Balai Pustaka.
Komisi ini
bekerja selama 6 tahun, yakni dari tahun 1910-1916. Setelah tahun 1917 komisi
Bacaan Rakyat ini diubah menjadi sebuah badan tetap yang dinamai Balai Pustaka.
Selama 6 tahun penerbitannya itu Volkslectuur bukan hanya mencetak buku-buku
bacaan saja tetapi juga sekaligus membentuk perpustaaan-perpustakaan untuk
menyebarkan bahan-bahan bacaannya. Perpustakaan itu dinamai Taman Pustaka.
Ada tiga jenis
buku yang dicetak oleh Volkslectuur terbagi menjadi 3 jenis yaitu: serie A yang
berupa bacaan anak-anak, serie B buku-buku hiburan dan ilmu pengetahuan untuk
orang dewasa, dan serie C bacaan untuk mereka yang sudah lanjut pengetahuannya.
Buku-buku terakhir ini ditulis dalam bahasa Melayu. Kelak jumlah Taman Pustaka
ini akan ditambah lagi oleh pemerintah dengan mendirikan
perpustakaan-perpustakaan untuk sekolah-sekolah dasar berbahasa Belanda
(H.I.S).
Buku terbitan
Volkslectuur itu bukan hanya disebarkan di sekolah-sekolah saja, tetapi juga
dijual untuk umum dengan harga yang sangat rendah. Ini dimungkinkan karena
Volkslectuur menjual buku-bukuny berdasarkan ongkos cetak dan sedikit biaya
pengiriman. Volkslectuur dibentuk bukan untuk tujuan komersial, tetapi untuk
tujuan politik, yakni mengontrol jenis bacaan pada anak-anak sekolah dan
lulusan-lulusannya yang menjadi pegawai.
Tugas
Volkslectuur semakin banyak, sehingga oleh pemerintah proyek yang berhasil ini
diubah menjadi suatu badan tersendiri yang masih berada di bawah kementerian
Pengajaran. Perubahan Volkslectuur menjadi Balai Pustaka berdasarkan surat
keputusan pada tanggal 22 september 1917. Sejak itu Balai Pustaka berdiri
sebagai sebuah lembaga yang sangat pesat kemajuannya dan menghasilakan banyak
karya sastra.
3.
BALAI
PUSTAKA
Sampai tahun
1916 buku yang diterbitkan Komisi Bacaan Rakyat meliputi 136. Dan jumlah
perpustakaan telah berkembang menjadi 700 lebih, jumlah terbanyak adalah
perpustakaan buku-buku bahasa jawa. Dari buku yang terbit itu 116 terdiri dari
buku-buku cerita perincian bahasanya sebagai berikut: 48 sastra jawa, 40 sastra
sunda dan 18 sastra melayu. Karena jumlah yang makin berkembang baik
perpustakan maupun naskah-naskah yang harus diterbitkan maka Komisi Bacaan
Rakyat dikembangkan menjadi sebuah badan tetap yang dinamai Balai Pustaka.
a.
Organisasi
Balai Pustaka:
Pada
garis besarnya organisasi Balai Pustaka terdiri dari 4 bagian, yakni Bagian
Redaksi, Bagian Administrasi, Bagian Perpustakaan dan Bagian Pers. Keempat
bagian tersebut dipimpin oleh seorang kepala Balai Pustaka yang tugas pokoknya
adalah memajukan moral dan budaya pembacanya dan meningkatkan apresiasi sastra.
Dialah yang akan menentukan buku-buku mana yang harus diterbitkan. ketua Balai
Pustaka ini antara lain Dr.D.A.Rinkes, Dr.G.W.J.Drewes, Dr.K.A.Hidding dan
tokoh-tokoh sastrawan Indonesia yang pernah bekerja di Balai Pustaka sebagai
redaktur ialah Adinegoro, Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, Nur Sutan
Iskandar dan H.B.Jassin.
Bagian Perpustakaan mengurus terselenggaranya
perpustakaan di seluruh Indonesia (Hindia Belanda). Ada dua macam perpustakaan:
Taman Pustaka dan Perpustakan Belanda. Yang pertama berada di sekolah-sekolah
rakyat kelas dua, sedang yang kedua berada di sekoalh-sekolah Belanda
(Hollandsch Inlandsche School = sekolah pribumi berbahsa Belanda). Taman
Pustaka terdiri dari tiga bahasa,yakni perpustakaan sekolah dengan buku-buku
sastra jawa, sunda dan melayu.
Balai
Pustaka adalah alat preventif untuk mencegah berkecmbuknya pemikiran-pemikiran
kebangsaan dan anti kolonial bagi kaum terpelajar Indonesia. Sebaliknya Balai
Pustaka bertugas menanamkan rasa setia dan patuh pada pemerintah.
b. Pengelolaan
sebagai
alat kolonial, Balai Pustaka dengan sendirinya memerlukan biaya pengelolaan.
Balai Pustaka memang merupakan badan penerbit yang tidak bertujuan komersial.
Namun biaya pengelolaan Balai Pustaka ini dapat ditekan akibat cara kerja yang
mereka sebut “efficiency”, yakni mencetak buku-buku dengan percetakan sendiri.
Harga buku Balai Pustaka dapat ditekan serendah mungkin sehingga banyak toko
buku Tionghoa yang menaikan harganya samai 2 atau 3 kali lipat Dari kenyataan
ini dapatlah dikatakan bahwa Balai Pustaka memang salah satu proyek polik
pemerintah jajahan Belanda.
c.
Jenis Penerbitan
Balai Pustaka
menerbitkan berbagai macam buku, majalah dan almanac. Buku-buku Balai Pustaka
tidak hanya meliputi buku-buku sastra tetapi juga buku-buku pengetahuan popular
tentang kesehatan, pertanian, peternakan, budi pekerti, sejarah, adat istiadat
dan sebagainya. Selain itu diterbitkan
pula majalah-majah dalam tiga bahasa yakni bahasa Melayu, bahasa Jawa, dan
bahas Sunda.
d.
Bahasa Balai Pustaka
Balai Pustaka tidak menerbitkan buku-buku, majalah-majalah
dan almanak-almanak dalam bahasa Melayu dengan alasan-alasan:
1.Penerbitan Balai
Pustaka ditunjukan untuk orang-orang Indonesia di daerah-daerah yang kebanyakan
hanya menguasai bahasa daerahnya sendiri.
2. Balai Pustaka
sebagai alat kolonial justru ingin membagi-bagi masyarakat ke dalam daerah
budayanya masing-masing agar jiwa persatuan tidak terbentuk.
e.
Reaksi
Balai Pustaka pada mulanya dicurigai kaum pergerakan
nasional. Balai Pustaka merupakan alat kolonial untuk meninabobokan rakyat
dengan kish-kisah sentimentalnya. Balai Pustaka sama sekali tidak merupakan
badan untuk “mencerdaskan” rakyat. Buku-buku Balai Pustaka hanya dibaca oleh
pegawai-pegawai rendahan di kota-kota. Namun bagaimanapun coraknya, Balai
Putaka memang merupakan satu-satunya badan penerbit yang kuat yang mampu menyebarluaskan
penerbitannya ke seluruh pelosok tanah air.
f.
Persyaratan Balai Pustaka
Ada beberapa
persyaratan yang dipakai Balai Pustaka untuk menerbitkan buku-bukunya, yakni:
1. Tulisan
tidak mengandung unsure-unsur anti pemerintah Belanda
2. Tulisan
tidak menyinggung perasaan golongan masyarakat tertentu,
3. Tulisan
tidak menyinggung perasaan agama tertentu.
4.
SASTRA
MELAYU, JAWA DAN SUNDA
Sastra Indonesia modern
bermula dari sastra Melayu, karena bahasa Indonesia memang lanjutan
perkembangan bahasa Melayu. Tetapi kalau dilihat dari masyarakat mana
kesusastraan itu muncul dan tumbuh, maka apa yang disebut sastra Balai Pustaka
yang berbahasa Melayu sebenarnya bukanlah termasuk sastra daerah seperti
pengertian sastra Jawa dan sastra Sunda.
Dengan demikian apa
yang disebut Sastra Balai Pustaka bukanlah hanya sastra dalam bahasa melayu,
tetapi juga dalam bahasa jawa dan sunda. Bahkan nampaknya sastra jawa lebih
subur daripada sastra melayu. Hal ini Nampak dari hasil sayembara mengarang
Balai Pustaka pada tahun 1937.
Bentuk-bentuk sastra
modern muncul hampir bersamaan dalam ketiga bahasa itu di Balai Pustaka. Bentuk
yang popular adalah roman. bentuk roman ini berkembang subur baik dalam sastra
jawa, sunda maupun melayu. Seangkan puisi, ketiganya masih terikat erat dengan
sastra tradisi mereka.
Tahun antara 1920-an
sampai 1940 di Indonesia dapat disaksiakan panorama sastra yang amat ramai.
Pada masa itu perkembangan sastra Balai Pustaka yang teriri dari sastra Melayu
sastra jawa dan sastra sunda. Tetapi bersamaan itu berkembang subur pulalah
sastra Melayu-Tionghoa, sastra Pujangga Baru dan juga sastra “picisan” dari
medan.
Jadi dari tahun
1920-1940 di Indonesia terdapat 6 jalur sastra modern yang terdiri dari 2
berbahasa daerah (jawa dan sunda) dan 4 lainnya berbahasa “Indonesia”
(Tionghoa, Balai Pustaka, Pujangga Baru dan Melayu modern). Setelah kemerekaan
keempat jaur tersebut lambat laun melebur menjadi satu sastra Indonesia, sedang
sastra modern Jawa dan Sunda makin ditinggalkan masyarakatnya.
Sastra Indonesia modern
basis masyarakatnya memang kaum terpelajar di kota-koa. Sastra Balai Pustaka
pendukungnya adalah para pegawai dan anak sekolah berpendidikan rendah dan
banyak hidup di kota-kota kecil dan desa-desa. Inilah sebabnya sampai sekarang
sastra daerah di Jawa dan Sunda selalu berada di belakang sastra Indonesia
intelektual, karena sastra daerah itu hanya meneruskan saja sastra Balai
Pustaka dari zaman sebelum kemerdekaan.