Jumat, 11 Mei 2012

SASTRA BALAI PUSTAKA


SASTRA BALAI PUSTAKA
1.                  LATAR BELAKANG
            Sastra Balai Pustaka tidak muncul dari masyarakat Indonesia secara bebas dan spontan. Sastra ini dimunculkan dan diatur oleh pemerintah jajahan Belanda di Indonesia. Sastra ini penuh dengan syarat-syarat dan ditulis dengan maksud-maksud tertentu, yang akhirnya bermuara bagi kepentingan politik jajahan. Dari sudut ini dapat dikatakan bahwa sastra Balai Pustaka bukanlah hasil ekspresi bangsa secara murni. Dalam banyak hal sastra Balai Pustaka adalah sastra bertendens, yakni sastra yang ditulis untuk maksud-maksud praktis tertentu, dalam hal ini adalah mendidik bangsa Indonesia agar menjadi pegawai negeri yang patuh dan tidak ambisius sehingga ingin menyamai orang-orang Belanda.
Berdasarkan keputusan Raja Belanda 30 September 1848, kepada Gubernur Jenderal Belanda di Indonesia diberi wewenang untuk menggunakan dana sebanyak 25.000,- tiap tahun bagi penyelewengan pendidikan. Pendidikan yang ditunjukan untuk kaum bangsawan rendah pada pertengahan abad 19 itu bukanlah bertujuan memberikan  kemajuan dan kepandaian bagi bangsa Indonesia, tetapi semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pegawai rendahan sebagai aparat pemerintahan jajahan. Di samping itu pemerintah Belanda juga ingin mengendalikan pendidikan yang sebelum tahun itu telah banyak dilakukan oleh pihak swasta. “pimpinan dalam hal pengajaran itu jangan terlepas dari tangan Pemerintah”, bunyi surat menteri kepada Raja Belanda pada tahhun 1845.            Didirikannya sekolah-sekolah belanda bagi kaum priyayi ini memang berhasil memenuhi kebutuhan pemerintah, tetapi juga mendatangkan bahaya bagi pemerintah. Kepandaian membaca yang diperoleh dari sekolah-sekolah dan dasar pengetahuan umum yang mereka miliki, mengakibatkan lulusan-lulusan sekolah ini haus bacaan dan pengetahuan.
            Belajar dari pengalaman penjajahan Inggris di India, yang memberikan pendidikan tetapi tidak mengontrol bacaannya, maka pemerintah Belanda mulai berpikir untuk menyediakan bacaan bagi kaum terdidik Indonesia (anak-anak sekolah dan pegawai-pegawai negeri).
            Inilah sebabnya pada tanggal 14 September 1908 Pemerintah membentuk Comissie voor e Inlandsche School-en Volkslecvuur ( komisi Bacaan Rakyat dan Pendidikan Pribumi) yang diketuai oleh Dr.G.A.J. Hazeu dengan 6 orang anggotanya. Tugas komosi ini adalah memberikan pertimbangan kepada Direktur Pendidikan dalam hal memilih karangan-karangan yang baik untuk dipakai di sekolah-sekolah dan dijadiakan bacaan rakyat.

2.                  KOMISI BACAAN RAKYAT
Meskipun komisi ini dibentuk tahun 1908, tetapi belum menghasilkan apa-apa sampai tahun 1910. Selama dua tahun itu komisi hanya memiliki satu sekretaris saja. Padahal “bahaya” yang dikuatirkan pemerintah makin besar. Seperti kita ketahui sejak 1870-an telah berkembang biak sastra Melayu Rendah Tioghoa dan sastra Melayu Rendah Belanda serta Indonesia. Dan beberapa roman pendek yang mereka hasilakan memang dapat membangkitkan perasaaan anti Belanda. Mengingat kepentingan penjajahan, maka pada tahun 1910 diangkatlah ketua komisi yang baru, ialah Dr.D.A.Rinkes. dan mulailah segera komisi menjalankan tugasnya dengan sungguh-sungguh pada tahun itu juga iterbitkan beberapa buku bacaan untuk rakyat. Inilah sebabnya Dr.D.A.Rinkes Dianggap sebagai Bapak Balai Pustaka.
Komisi ini bekerja selama 6 tahun, yakni dari tahun 1910-1916. Setelah tahun 1917 komisi Bacaan Rakyat ini diubah menjadi sebuah badan tetap yang dinamai Balai Pustaka. Selama 6 tahun penerbitannya itu Volkslectuur bukan hanya mencetak buku-buku bacaan saja tetapi juga sekaligus membentuk perpustaaan-perpustakaan untuk menyebarkan bahan-bahan bacaannya. Perpustakaan itu dinamai Taman Pustaka.
Ada tiga jenis buku yang dicetak oleh Volkslectuur terbagi menjadi 3 jenis yaitu: serie A yang berupa bacaan anak-anak, serie B buku-buku hiburan dan ilmu pengetahuan untuk orang dewasa, dan serie C bacaan untuk mereka yang sudah lanjut pengetahuannya. Buku-buku terakhir ini ditulis dalam bahasa Melayu. Kelak jumlah Taman Pustaka ini akan ditambah lagi oleh pemerintah dengan mendirikan perpustakaan-perpustakaan untuk sekolah-sekolah dasar berbahasa Belanda (H.I.S). 
Buku terbitan Volkslectuur itu bukan hanya disebarkan di sekolah-sekolah saja, tetapi juga dijual untuk umum dengan harga yang sangat rendah. Ini dimungkinkan karena Volkslectuur menjual buku-bukuny berdasarkan ongkos cetak dan sedikit biaya pengiriman. Volkslectuur dibentuk bukan untuk tujuan komersial, tetapi untuk tujuan politik, yakni mengontrol jenis bacaan pada anak-anak sekolah dan lulusan-lulusannya yang menjadi pegawai.
Tugas Volkslectuur semakin banyak, sehingga oleh pemerintah proyek yang berhasil ini diubah menjadi suatu badan tersendiri yang masih berada di bawah kementerian Pengajaran. Perubahan Volkslectuur menjadi Balai Pustaka berdasarkan surat keputusan pada tanggal 22 september 1917. Sejak itu Balai Pustaka berdiri sebagai sebuah lembaga yang sangat pesat kemajuannya dan menghasilakan banyak karya sastra.

3.      BALAI PUSTAKA
Sampai tahun 1916 buku yang diterbitkan Komisi Bacaan Rakyat meliputi 136. Dan jumlah perpustakaan telah berkembang menjadi 700 lebih, jumlah terbanyak adalah perpustakaan buku-buku bahasa jawa. Dari buku yang terbit itu 116 terdiri dari buku-buku cerita perincian bahasanya sebagai berikut: 48 sastra jawa, 40 sastra sunda dan 18 sastra melayu. Karena jumlah yang makin berkembang baik perpustakan maupun naskah-naskah yang harus diterbitkan maka Komisi Bacaan Rakyat dikembangkan menjadi sebuah badan tetap yang dinamai Balai Pustaka.
a.                Organisasi Balai Pustaka:
Pada garis besarnya organisasi Balai Pustaka terdiri dari 4 bagian, yakni Bagian Redaksi, Bagian Administrasi, Bagian Perpustakaan dan Bagian Pers. Keempat bagian tersebut dipimpin oleh seorang kepala Balai Pustaka yang tugas pokoknya adalah memajukan moral dan budaya pembacanya dan meningkatkan apresiasi sastra. Dialah yang akan menentukan buku-buku mana yang harus diterbitkan. ketua Balai Pustaka ini antara lain Dr.D.A.Rinkes, Dr.G.W.J.Drewes, Dr.K.A.Hidding dan tokoh-tokoh sastrawan Indonesia yang pernah bekerja di Balai Pustaka sebagai redaktur ialah Adinegoro, Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, Nur Sutan Iskandar dan H.B.Jassin.
 Bagian Perpustakaan mengurus terselenggaranya perpustakaan di seluruh Indonesia (Hindia Belanda). Ada dua macam perpustakaan: Taman Pustaka dan Perpustakan Belanda. Yang pertama berada di sekolah-sekolah rakyat kelas dua, sedang yang kedua berada di sekoalh-sekolah Belanda (Hollandsch Inlandsche School = sekolah pribumi berbahsa Belanda). Taman Pustaka terdiri dari tiga bahasa,yakni perpustakaan sekolah dengan buku-buku sastra jawa, sunda dan melayu.
Balai Pustaka adalah alat preventif untuk mencegah berkecmbuknya pemikiran-pemikiran kebangsaan dan anti kolonial bagi kaum terpelajar Indonesia. Sebaliknya Balai Pustaka bertugas menanamkan rasa setia dan patuh pada pemerintah.

b.        Pengelolaan
sebagai alat kolonial, Balai Pustaka dengan sendirinya memerlukan biaya pengelolaan. Balai Pustaka memang merupakan badan penerbit yang tidak bertujuan komersial. Namun biaya pengelolaan Balai Pustaka ini dapat ditekan akibat cara kerja yang mereka sebut “efficiency”, yakni mencetak buku-buku dengan percetakan sendiri. Harga buku Balai Pustaka dapat ditekan serendah mungkin sehingga banyak toko buku Tionghoa yang menaikan harganya samai 2 atau 3 kali lipat Dari kenyataan ini dapatlah dikatakan bahwa Balai Pustaka memang salah satu proyek polik pemerintah jajahan Belanda.
c.                   Jenis Penerbitan
Balai Pustaka menerbitkan berbagai macam buku, majalah dan almanac. Buku-buku Balai Pustaka tidak hanya meliputi buku-buku sastra tetapi juga buku-buku pengetahuan popular tentang kesehatan, pertanian, peternakan, budi pekerti, sejarah, adat istiadat dan sebagainya. Selain itu  diterbitkan pula majalah-majah dalam tiga bahasa yakni bahasa Melayu, bahasa Jawa, dan bahas Sunda.

d.                  Bahasa Balai Pustaka
            Balai Pustaka tidak menerbitkan buku-buku, majalah-majalah dan almanak-almanak dalam bahasa Melayu dengan alasan-alasan:
1.Penerbitan Balai Pustaka ditunjukan untuk orang-orang Indonesia di daerah-daerah yang kebanyakan hanya menguasai bahasa daerahnya sendiri.
2. Balai Pustaka sebagai alat kolonial justru ingin membagi-bagi masyarakat ke dalam daerah budayanya masing-masing agar jiwa persatuan tidak terbentuk.

e.       Reaksi
           Balai Pustaka pada mulanya dicurigai kaum pergerakan nasional. Balai Pustaka merupakan alat kolonial untuk meninabobokan rakyat dengan kish-kisah sentimentalnya. Balai Pustaka sama sekali tidak merupakan badan untuk “mencerdaskan” rakyat. Buku-buku Balai Pustaka hanya dibaca oleh pegawai-pegawai rendahan di kota-kota. Namun bagaimanapun coraknya, Balai Putaka memang merupakan satu-satunya badan penerbit yang kuat yang mampu menyebarluaskan penerbitannya ke seluruh pelosok tanah air.

f.                   Persyaratan Balai Pustaka
Ada beberapa persyaratan yang dipakai Balai Pustaka untuk menerbitkan buku-bukunya, yakni:
1.      Tulisan tidak mengandung unsure-unsur anti pemerintah Belanda
2.      Tulisan tidak menyinggung perasaan golongan masyarakat tertentu,
3.      Tulisan tidak menyinggung perasaan agama tertentu.

4.               SASTRA MELAYU, JAWA DAN SUNDA
Sastra Indonesia modern bermula dari sastra Melayu, karena bahasa Indonesia memang lanjutan perkembangan bahasa Melayu. Tetapi kalau dilihat dari masyarakat mana kesusastraan itu muncul dan tumbuh, maka apa yang disebut sastra Balai Pustaka yang berbahasa Melayu sebenarnya bukanlah termasuk sastra daerah seperti pengertian sastra Jawa dan sastra Sunda.
Dengan demikian apa yang disebut Sastra Balai Pustaka bukanlah hanya sastra dalam bahasa melayu, tetapi juga dalam bahasa jawa dan sunda. Bahkan nampaknya sastra jawa lebih subur daripada sastra melayu. Hal ini Nampak dari hasil sayembara mengarang Balai Pustaka pada tahun 1937.
Bentuk-bentuk sastra modern muncul hampir bersamaan dalam ketiga bahasa itu di Balai Pustaka. Bentuk yang popular adalah roman. bentuk roman ini berkembang subur baik dalam sastra jawa, sunda maupun melayu. Seangkan puisi, ketiganya masih terikat erat dengan sastra tradisi mereka.
Tahun antara 1920-an sampai 1940 di Indonesia dapat disaksiakan panorama sastra yang amat ramai. Pada masa itu perkembangan sastra Balai Pustaka yang teriri dari sastra Melayu sastra jawa dan sastra sunda. Tetapi bersamaan itu berkembang subur pulalah sastra Melayu-Tionghoa, sastra Pujangga Baru dan juga sastra “picisan” dari medan.
Jadi dari tahun 1920-1940 di Indonesia terdapat 6 jalur sastra modern yang terdiri dari 2 berbahasa daerah (jawa dan sunda) dan 4 lainnya berbahasa “Indonesia” (Tionghoa, Balai Pustaka, Pujangga Baru dan Melayu modern). Setelah kemerekaan keempat jaur tersebut lambat laun melebur menjadi satu sastra Indonesia, sedang sastra modern Jawa dan Sunda makin ditinggalkan masyarakatnya.
Sastra Indonesia modern basis masyarakatnya memang kaum terpelajar di kota-koa. Sastra Balai Pustaka pendukungnya adalah para pegawai dan anak sekolah berpendidikan rendah dan banyak hidup di kota-kota kecil dan desa-desa. Inilah sebabnya sampai sekarang sastra daerah di Jawa dan Sunda selalu berada di belakang sastra Indonesia intelektual, karena sastra daerah itu hanya meneruskan saja sastra Balai Pustaka dari zaman sebelum kemerdekaan.